All About Political Science
PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik merupakan aspek yang
paling penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri
khas adanya modernisasi politik. Secara umum, dalam masyarakat tradisional,
yang sipat kepemimpinan politiknya telah ditentukan oleh segolongan elit
penguasa., keterlibatan warga negara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan
keputusan, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil.warga negara
yang hanya terdiri dalam masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan
dalam proses politik. Partisipasi politik, merupakan kegiatan yang dilakukan
warga negara untuk terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, dengan
tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah.
![]() |
| sumber gambar: |
Huntington dan Nelson, dalam bukunya yang
berjudul Partisipasi Ppolitik di Negara Berkembang, berusaha mencarai batasan
partisipasi politik. Mereka mengawalinya dengan pertanyaan, apakah partisipasi
politik itu hanya berupa perilaku atau menyangkut sikap dan presepsi- presepsi
yang merupakan syarat mutlak perilaku partisipasi. Akhinya, mereka
mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara preman (
private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah[1].
Dipihak lain, Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik merupakan
kegiatan seorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih peimpnan negara secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah ( Public Policy)[2].
Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson diatas dibatasi oleh beberapa
hal.
Pertama, mereka mengatakan partisipasi politik hanyalah mencakup
kegiatan- kegiatan dan bukan sikap- sikap. Dalam hal ini, mereka tidak
memasukan komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, minat
terhadap politik, perasaan- perasaan tentang politik, keefektifan politik,
tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap tersebut berkaitan
dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dalam
partisipasi politik itu adalah warga negara preman (biasa), bukan pejabat-
pejabat pemerintah. Hal itu didasarkan pada pejabat- pejabat pemerintah yang
mempunyai pekerjaan profesional dibidang itu, padahal justru kajian ini pada
warga negara biasa. Ketiga, kegiatan partisipasi politik itu hanyalah sebagai
kegiatan yang mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yayng dimaksudkan
misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-
cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara berusaha
mengubah aspek- aspek sistem politik atau dengan mengubah secara mendasar struktur
politik sistem secara keseluruhan agar pemerintah lebih tanggap dengan
keinginan- keinginan mereka. Keempat, partisipasi politik juga
mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlintas tindakan itu
efektif atau tidak, berhasil atau tidak. Kelima, partisipasi politik berupa
kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung:
artinya langsung oleh pelakunya itu sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi
ada pula yang tidak langsung melalui orang- orang yang di anggap dapat
menyalurkan pemerintah.
Dengan
itu, jelaslah perbedaan antara perilaku dan partisipasi politik. Kegiatan
politik ( aktivitas politik) adalah aktivitas warga negara biasa yang tidak
memiliki jabatan dalam pemerintah/ kewenangan dalam pengambilan keputusan
politik.di lain pihak, pejabat pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat dan
melaksanakan keputusan politik.
STRUKTUR POLITIK
Kehidupan politik suatu
negara mewujudkan sebuah struktur politik. Secara umum struktur adalah
perkembangan hubungan organisasi antara komponen- komponen yang membentuk
bangunan organisasi tersebut. Struktur politik berarti pelembagaan hubungan
antara komponen- komponen yang membangun suatu sistem politik. Dengan meminjam
istilah Iver[3], kekuasaan ( power)
menyelenggarakan segala kepentinganya, negara memerlukan kekuasaan tersebut.
Suprastruktur politik ialah struktur politik pemerintahan atau kenegaraan.
Suprastruktur politik ini berkenaan dengan suasana kehidpan politik pemerintah
( the governental political sphare) yang merupakan kompleks nilai yang
bersangkutan dengan lembaga- lembaga negara yang ada, fungsi dan wewenang
negara tersebut serta hubungan kerja lembaga satu dengan yang lainya. Yang
termasuk dalam suprastruktur politik ini adalah legislatif (pembuat UU),
eksekutif (pelaksana UU) dan yudikatif (mengadili pelanggat UU). Suprastruktur
politik, apabula dikaitkan dengan UUD 1945, meliputi lembaga tinggu maupun
lembaga tinggi negara yang ditentukan keberadaanya di daam UUD. Dengan
demikian, suprastruktur politik ini meliputi:
1.
MPR
( sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat)
2.
Presiden
( kepala negara, kepala pemerintahan, bersama DPR merupakan lembaga pembuat UU)
3.
DPR
( pemegang kekuasaan membuat UU)
4.
DPA
(memberikan berbagai pertimbangan kepeda presiden baik diminyta maupun tidak)
5.
BPK
(memeriksa tanggung jawab keuangan negara untuk kemudian melaporkan hasil
pemeriksaan kepada DPR)
6.
MA
( sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman)
Infrastruktur politik adalah struktur politik
kemasyarakatan. Komponenya berkenaan dengan suasana kehidupan politk rakyat
yaitu hal yang bersangkt paut dengan pengelompokan warga negara dan anggota
masyarakat kedalam berbagai macam goglongan yang biasanya disebut dengan
kekuatan sosial politik di dalam masyarakat, yang terdiri dari komponen-
komponen sebagai berikut:
1.
Partai
Politik ( Political Party)
2.
Kelompok
Kepentingan ( Interest Group)
3.
Kelompok
Penekan ( Pressure Group)
4.
Media
Komunikasi Politik ( Political Communication Media)
5.
Tokoh
Politik ( Political Figure)
Sosialisasi politik adalah
suatu prosesyang dilalui seseorang dalam memperoleh sikap dan orientasi
terhadap fenomena politik yang ada dalam masyarkat tempat orang itu berada[4].sosialisasi
politik juga mencakup proses pencapaian norma- norma dan nilai- nilai dari satu
generasi ke generasi seterusnya, yang berperan mengembangkan serta memperkuat
sikap politik di kalangan warga masarakat atau melatih warga masyarakat
menjalankan peran- peran politik tertentu. Fungsi sosialisai tersebut sangat
penting sebab sosailaisasi politik meningkatkan pengetahuan politik masyarakat
tentang kehidupan politik yang pada giliranya dapat mendorong pertumbuhan
partisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya.
ELIT POLITIK
Putman sebelum meneliti distribusi kekuasaan, lebih dulu
memberikan gambaran mengenai kekuasaan sering dipakai dalam ilmu- ilmu sosial,
yaitu kekuasaan kekuasaan sebagai sesuatu untuk mempengaruhi pembuatan
keputusan kolektif. Dengan batasan itu, Putman memberikan batasan tentang
kekuasaan itu sendiri[5].
Pertama, menetapkan ruang lingkup kekuasaan
seperti kegiatan- kegiatan yang dilakukan dan luasnya.
Kedua, dikalangan kelompok yang memerintahpun
hanya sedikit yang secara langsung menetapkan kebijaksanaan itu.
Ketiga, seringkali pembuat keputusan itupun
harus memperhatikan aktor- aktor lain mengenai reaksi terhadap keputusan-
keputusanya itu. Dengan demikian, dapat dimengerti apabila kekuasaan itu
seringkali bersifat implisit., meskipun tidak menutup kemungkinan berubah
menjadi eksplisit manakala dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan
memperhatikan tindakan seperti penolakan atau harus menentukan pilihan.
Untuk
mengkaji keududukan elit di dalam masyarakat, elemen yang penting ialah konsep
kekuasaan. Hal itu di dasari bahwa elit dan kekuasaan merupakan dua variabel
yang tidak dapat dipisahkan, karena elit adalah sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan adalah tempat muncul dan berkembangnya
elit.
Dalam hal ini, kekuasaan politik yang
dimaksud kan adalah, kemampuan untuk mempengaruhi kebijakasanaan umum baik
terbentuknya maupun akibat- akibatnya sesuai dengan tujuan- tujuan kekuasaan
sendiri. Dengan demikian kekuasaan politik berbeda dengan kekuasaan sosial.
Kekuasaan politik hanyalah sebagian dari kekuasaan sosial yang titik sasaranya
di tujukan pada negara sebagai satu- satunya pihak yang memiliki wewenang dan
satu- satunya pihak yang memiliki hak untuk mengendalikan tingkah laku
seseorang melalui cara- cara tertentu dan dengan paksaan sekalipun.
Sudah
menjadi kepastian di dalam sistem politik bahwa sebagian orang yang berada di
dalam sistem itu memiliki kekuasaan yag lebih banyak dari sebagian yang lain.
Apabila sistem politik tersebut dipandang sebagai hal yang berlapis- lapis,
atau berstratifikasi, terdapat beberapa lapisan berdasarkan sumber- sumber
kekuasaan yang dimiliki.
BAB VI
KELAS MENENGAH DAN
POLITIK
Di Indonesia, pertumbuhan kelompok menengah
sebagai sebuah starum berlanggsung dalam jangka waktu yang lama dan kompleks.
Kepentingan, hasrat ekonomi, dan politik, secara tempramen ideologi mereka
bangkit secara nyata pada masa penjajahan yaitu sejak masa diterapkannya
Politik Etis yang sebagian hasil penajamannya konflik ekonomi antara
wiraswastawan ekonomi Indonesia dan Cina.
Munculny kelas menengah telah telah menarik
perhatian para ahli ilmu sosial karena kemunculan kelas menengah telah
memunculklan implikasi terhadap tingkah laku politik. Berbicara kelas menengah
ini, Lev[6]menaruh
perhatian pada kaum profesional. Menurutnya, semakin sering mereka terabaikan,
mungkin mereka tampak tak berada pada pusat kewiraswataan. Tetapi dalam
beberapa hal mereka mempunyai arti penting, yaitu sebagai juru bicara paling
artikulatif dari ide- ide, tujuan- tujuan, prinsio- prinsio dan kepentingan-
kepentingan baru sebagai pihak pengimplementasian hal- hal tersebut dalam
kewiraswastawan kapitalis.
Brym dalam bukunya “ Intelektual dan
Politik”, menaruh perhatian pada beberapa aspek utama dari teori dan praktek-
praktek kaum intelektual sejak kapasitas mereka dibebeskan tiga abad yang lalu.
Dalam tulisan tersebut Brym[7]
membahas lokasi kaum intelektual dalam masyarakat, hubungan antara pandangan
mereka dan lokasi mereka, serta kecenderungan historis yang nampak pada kaum
intelektual tersebut. Adapun pandangan tersebut diuraikan kedalam empat
pandangan terhadap kaum intelektual seperti dibawah ini.
1.
Mereka
dalam tingkatan berbeda- beda dipengarui oleh perspektif fungsionalis, edeteksi
adnya kecenderungan historis bahwa kaum intelektual yang tadinya bebas menjadi
semakin terserap kedalam superstruktur institusional yang meluas dan semakin
cepat diatur oleh negara.
2.
Sebagai
kaum Neo- Marxis mendukung pandangan yang bertolak belakang.
3.
Bertentangan
dengan dua pernyataan diatas, telah juga dikemukakan oleh Manheim, bahwa kaum
intelektual di kaum intelektual modern “ relatif tak berkelas”.
4.
Ketiga
pernyataan diatas telah dikembangkan oleh ilmuwan ilmu sosial yang memusatkan
perhatian- perhatianya pada masyarakat yang telah mencapai tahapan perkembangan
ekonomi yang agak maju.
Dari keempat pandangan diatas, nampak bahwa
jika di lihat posisi kaum intelektual di dalam masyarakat, terdapat pandangan
bahwa kaum intelektual menepati, posisi sebagai kelas menengah, sebagai kelas
proletar, sebagai kelompok masyarakat tanpa kelas atau menjadi kelompok elit
penguasa.pandangan poitiknya menunjuk pada pandangan politik yang moderat,
radikal, pragmatis, atau pandangan politik revolusioner kearah modernisasi.
Semua itu tergantung kepada cara pandang yang berlainan.
BIROKRASI DALAM
POLITIK
Istilah birokrasi selalu berkaitan dengan
gejala prosedur yang berbelit- belit, mekanisme kerja yang tak jelas, berliku-
liku serta sarana penyalahgunaan status dan wewenang. Hampir setiap orang yang
pernah terlibat dan berurusan dengan birokrasi megeluhkan argumen ketidak
efektifan dan ketidak efisienan.
Misalnya birokrasi sering dipandang tidak
mampu maelakukan hal- hal yang sesuai dan tepat: tidak pernah ambil peduli
tentang sesuatu: terjerat dalam jeratan pita merah: banyak sekali menghabiskan
dana pajak yang dikutip dari rakyat secara sia- sia setiap tahun.
Birokrasi yang sering dipandang sebagai
simultan menampilkan citra yang kontradiktif dari inefisiensi dan ancaman
kekuasaan. Inkompetensi, korupsi, dan pemborosan di suatu pihak, manipulasi
pengrusakan dan intrik- intrik di pihak lain merupakan contoh kebobrokan[8].
Dalam konteks politik, birokrasi diartikan
sebagai wujud dari aparat pemerintahan negara dalam melaksanakan kebijakan-
kebijakan tersebut melalui serangkaian tahapan atau biro- biro yang masing-
masing diberi mandat atau dalam menentukan suatu tahap kebijakan yang di
sesuaikan dengan kondisi dan situasi tentang tentang kasus yang dihadapi[9].
Berangkat dari tujuan awalnya, birokrasi
diciptakan dalam hal untuk mempermudan dan mempercepat suatu pekerjaan dan
dalam beberapa hala akan membantu suatu proses perkembangan yang lebih efisien,
analisis mengenai konteks pembangunan politik diarahkan pada kerangka tersebut.
Dengan kerangka itu, pertama- tama akan dikenal istilah birokrasi politis dan
birokrasi administratif[10].
Birokrasi politis berasal dari organisasi-
organisasi di luar pemerintahan dan memperjuangkan pandangan- pandangan dan
tujuan- tujuan praktis politis suatu golongan atau beberapa golongan dalam
masyarakat, seperti misalnya birokrasi partai- partai politik dan serikat
buruh. Birokrasi ini berorientasi pada kepentingan masyarakat yang sekaligus
merupakan ciri yang membedakanya dengan administrasi administratif[11].
Birokrasi melahirkan birokrat- birokrat
adalah premis yang tidak dapat di tawar lagi. Tetapi persoalanya bukanlah
mengapa birokrasi mesti melahihrkan birokrat akan tetapi bagaimanakah peranan
birokrat- birokrat tersebut di dalam politik.
BERBAGAI DIMENSI
PERILAKU POLITIK
Manusia merupakan mahluk yang berpolitik. Hal
itu mengandung art bahwa manusia tidak sekedar bersifat instingtif, tetapi juga
mengaktualisasi ditegah- tengah kemasyarakatanya dengan bentuk tingkah laku
politik. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tingkah laku
politik manusia itu diwujudkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
publik. Proses itu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan bersama dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terdapat beberapa faktor yang biasanya muncul
sebagai faktor pembentukan identitas bersama. Faktor- faktor tersebut menurut
Surbakti mencakup Primordial, Sakral, Tokoh, Sejarah, Bhineka Tunggal Ika,
Perkembangan Ekonomi, dan kelembagaan[12].faktor-
faktor yang membentuk identitas bersama itu kemudian dijelaskan sebagai
berikut.
Berbicara
tentang perilaku politik, tentunya akan berhubungan dengan norma- norma yang
bersangkut-paut dengan perilaku politik. Norma perilaku politik berarti
mempersoalkan apa yang menjadi landasan wewenang politik atau apa yang menjadi
dasar pembuatan dan pelaksanaan keoutusan politk itu diberlakukan secara sah.
Hal itu sejalan dengan pengertian wewenang, yaitu kekuasaan yang dilembagakan[13]
Kekuasaan,
menurut Max Webber adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan
kemauan sendiri dan apapun dasar kemampuan itu. Kekuasaan dalam hal ini
kekuasaan negara, mempersoalkan sah atau tidaknya negara. Kekuasaan berarti
mempersoalkan masalah legitimasi[14]
Legitimasi
merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk
memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan
politik. Hanya anggota masyarakat saja yang dapat memberikan legitimasi
pada kewenangan pemimpin yang memerintah.
Persamaan
antara Kekuasaan, Kewenangan, dan Legitimasi Ketiganya berkaitan erat dengan
hubungan pemimpin atau pemerintah dengan yang dipimpin atau rakyat. Kemampuan
untuk mempengaruhi Hak moral atau hak untuk memerintah Penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral Kekuasaan
memiliki hubungan atas-bawah menurut sarana paksaan fisik dan kekayaan, karena
yang memiliki sarana kekuasaan lebih menentukan dari pada yang dipengaruhi. Sedangkan hubungan
bawah-atas, yang dipengaruhi lebih menentukan dari pada yang mempengaruhi,
karena yang mempengaruhi harus mendapat persetujuan dari yang dipengaruhi.
Kewenangan ditentukan oleh yang memimpin, sebab ia dapat menyuruh masyarakat
untuk patuh dan menaati peraturan yang dibuatnya. Legitimasi ditentukan oleh
yang dipimpin, karena penerimaan dan
pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal dari yang diperintah[15].
DINAMIKA KEHIDUPAN POLITIK
Perubahan
politik secara umum merupakan hal yang bersifat alamiah. Semua objek di dunia
ini merupakan hal yang bersifat alamiah. Semua objek di dunia ini tidak dapat
mempertahankan keabadianya. Demikian halnya, kehidupan politik juga tidak dapat
menghindarkan diri dari perubahan. Perubahan dalam politik (kehidupan politik )
tersebut dinamakan perubahan politik.
Perubahan
politik menyangkuut persoalan- persoalan sistem nilai politik, struktur
kekuasaan, serta strategi mengenai kebijakan umum yang berkenaan dengan
lingkungan masyarakat dan lingkungan alam yang mempengaruhi dan dipengaruhi
sistem politik[16].
Dalam
pandangan Pye[17],
ada sepuluh konsep pembangunan politik yang dapat dianut dalam menentukan
strategi kebijakan umum suatu negara. Kesepuluh konsep tersebut adalah sebagai
berikut.
Pertama,
pembangunan politik sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi, artinya bahwa
pembangunan politik merupakan keadaan politik masyarakat yang membantu jalanya
pembangunan ekonomi. Pembangunan politik diharapkan dapat memperlancar dan
meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
Kedua,
pembangunan politik sebagai tipe politik masyarakat industri. Artinya, kehidupan
ekonomi masyarakat industri melahirkan suatu tipe kehidupan politik yang dapat
ditiru oleh masyarakat manapun.
Ketiga,
pembangunan politik sebagai modernisasi politik. Artinya, pembangunan politik
diarahkan untuk menciptakan sistem politik modern yang dirasakan sebagai
sesuatu yang harus diterima oleh pihak pemerintah di mana pun.
Keempat,
pembangunan politik sebagai operasi negara bangsa. Artinya, bawa pembangunan
politik merupakan proses terbentuknya negara bangsa yang di cirikan oleh
pembentukan lembaga- lembaga politik tertentu dan pencetusnya secara tertib
semua gejala nasionalisme kedalam tatanan kehidupan politik.
Kelima,
pembangunan politik sebagai pembangunan administrasi dan hukum. Artinya, bahwa
pembangunan politik diarahkan untuk membangun lembaga administrasi yang
rasional dan menegakan hukum.
Keenam,
pembangunan politik sebagai mobilisasi dan partisipasi masa. Artinya, bahwa rakyat
diharapkan aktif dalam kehidupan politik. Ketujuh,
pembangunan politik sebagai pembinaan bangsa. Artinya, sebagai pembinaan bangsa
akan bermakna apabila didasarkan pada ideologi yang dianut oleh bangsa yang
bersagkutan.
Kedelapan,
pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan yang teratur. Artinya,
kemajuan ekonomi dan sosial di didalam lingkungan yang mampu mengendalikan
ketidakpastian dan menjamin terselenggaranya perencanaan yang berdasarkan
predikat yang relatif aman, pembangunan politik bergantung pada kemampuan suatu
masyarakat untuk mengendalikan perubahan sosial.
Kesembilan,
pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. Artinya, pembangunan
politik akan memberikan peluang bagi penguasa untuk memanfaatkan secara
maksimal dan mewujudkan dalam kenyataan semua sumber- sumber yang tersedia.
Kesepuluh,
pembangunan politik sebagai satu aspek proses perubahan sosial yang
multidimensional. Artinya, pembangunan politik merupakan salah satu aspek
pembangunan yang dibangun bersama- sama dengan aspek- aspek lain. Dalam
pandangan ini semua aspek pembangunan saling berkaitan satu sama lain.
Dari
kesepuluh pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa pembangunan politik merupakan
salah satu aspek dalam proses perubahan sosial yang multidimensional. Pembangunan politik merupakan salah satu
aspek yang dibangun bersama- sama dengan aspek- aspek lainya. Dalam pandangan
ini, semua aspek pemangunan berhubungan satu dengan yang lainya.
[1] P. Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik
di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta . hlm- 6
[2] Budiarjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hlm- 1
[3] Mac Iver, The Modern State, London, Oxford University Press, 1960,
hal- 221
[4] Budiardjo, Miriam. 1995. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hlm- 169
[5] Lihat: Mochtar Mas’oed, op, cit. Hal 34.
[6] Tanter dan Young , op. Cit, hal. 48.
[7] Brym Robert. 1993. Intelektual dan Politik. Jakarta: Graffiti, hlm-
3
[8] Beetham, David. Birokrasi, terj. Sahat Simamora. Jakarta: Bumi
Aksara, 1990, hal. V.
[9] Pengertian tentang birokrasi pada awalnya sebenarnya tidak
berkaitan dengan politi, namun perkembangan
selanjutnya karena menyangkut aparat pengambilan keputusan sehingga pengertian ini berkembang menjadi pengertian
yang bersifat politik.
[10] Ensiklopedia, hal- 146
[11] Periksa: Encyclopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, loc.
cit
[12] Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia
Widiaswara Indonesia. Hlm, 44-
47
[13] Budiardjo Miriam. 1991.
Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan. Hlm- 14
[14] Max Weber dalam Miriam
Budiardjo. 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. Hlm - 6
[15] Amrina Ully. Pengantar
Ilmu Politik - Kekuasaan, Kewenangan, Legitimasi. https://www.academia.edu/9078209/Pengantar_Ilmu_Politik_Kekuasaan_Kewenanga gan_Legitimasi. Diakses pada hari Kamis. 21 Januari 2016. Pada
pukul 14:46 wib
[16] Surbakti, Ramelan. 1992.
Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Widia Sarana Indonesia. Hlm- 240-
243
[17] Pye, Lucian W. Dalam
Gaffar, Afian. 1989. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Jakarta: Rajawali. Hlm- 31-54


Comments
Post a Comment