All About Political Science

PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara umum, dalam masyarakat tradisional, yang sipat kepemimpinan politiknya telah ditentukan oleh segolongan elit penguasa., keterlibatan warga negara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil.warga negara yang hanya terdiri dalam masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses politik. Partisipasi politik, merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah.
sumber gambar: aguzssudrazat.blogspot.com
Huntington dan Nelson, dalam bukunya yang berjudul Partisipasi Ppolitik di Negara Berkembang, berusaha mencarai batasan partisipasi politik. Mereka mengawalinya dengan pertanyaan, apakah partisipasi politik itu hanya berupa perilaku atau menyangkut sikap dan presepsi- presepsi yang merupakan syarat mutlak perilaku partisipasi. Akhinya, mereka mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara preman ( private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah[1]. Dipihak lain, Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik merupakan kegiatan seorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih peimpnan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah ( Public Policy)[2]. Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson diatas dibatasi oleh beberapa hal.
Pertama, mereka mengatakan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan- kegiatan dan bukan sikap- sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukan komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan- perasaan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dalam partisipasi politik itu adalah warga negara preman (biasa), bukan pejabat- pejabat pemerintah. Hal itu didasarkan pada pejabat- pejabat pemerintah yang mempunyai pekerjaan profesional dibidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga, kegiatan partisipasi politik itu hanyalah sebagai kegiatan yang mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yayng dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara- cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara berusaha mengubah aspek- aspek sistem politik atau dengan mengubah secara mendasar struktur politik sistem secara keseluruhan agar pemerintah lebih tanggap dengan keinginan- keinginan mereka. Keempat, partisipasi politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlintas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau tidak. Kelima, partisipasi politik berupa kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung: artinya langsung oleh pelakunya itu sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang- orang yang di anggap dapat menyalurkan pemerintah.
            Dengan itu, jelaslah perbedaan antara perilaku dan partisipasi politik. Kegiatan politik ( aktivitas politik) adalah aktivitas warga negara biasa yang tidak memiliki jabatan dalam pemerintah/ kewenangan dalam pengambilan keputusan politik.di lain pihak, pejabat pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik.



STRUKTUR POLITIK
Kehidupan politik suatu negara mewujudkan sebuah struktur politik. Secara umum struktur adalah perkembangan hubungan organisasi antara komponen- komponen yang membentuk bangunan organisasi tersebut. Struktur politik berarti pelembagaan hubungan antara komponen- komponen yang membangun suatu sistem politik. Dengan meminjam istilah Iver[3], kekuasaan ( power) menyelenggarakan segala kepentinganya, negara memerlukan kekuasaan tersebut. Suprastruktur politik ialah struktur politik pemerintahan atau kenegaraan. Suprastruktur politik ini berkenaan dengan suasana kehidpan politik pemerintah ( the governental political sphare) yang merupakan kompleks nilai yang bersangkutan dengan lembaga- lembaga negara yang ada, fungsi dan wewenang negara tersebut serta hubungan kerja lembaga satu dengan yang lainya. Yang termasuk dalam suprastruktur politik ini adalah legislatif (pembuat UU), eksekutif (pelaksana UU) dan yudikatif (mengadili pelanggat UU). Suprastruktur politik, apabula dikaitkan dengan UUD 1945, meliputi lembaga tinggu maupun lembaga tinggi negara yang ditentukan keberadaanya di daam UUD. Dengan demikian, suprastruktur politik ini meliputi:
1.    MPR ( sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat)
2.    Presiden ( kepala negara, kepala pemerintahan, bersama DPR merupakan lembaga pembuat UU)
3.    DPR ( pemegang kekuasaan membuat UU)
4.    DPA (memberikan berbagai pertimbangan kepeda presiden baik diminyta maupun tidak)
5.    BPK (memeriksa tanggung jawab keuangan negara untuk kemudian melaporkan hasil pemeriksaan kepada DPR)
6.    MA ( sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman)
Infrastruktur politik adalah struktur politik kemasyarakatan. Komponenya berkenaan dengan suasana kehidupan politk rakyat yaitu hal yang bersangkt paut dengan pengelompokan warga negara dan anggota masyarakat kedalam berbagai macam goglongan yang biasanya disebut dengan kekuatan sosial politik di dalam masyarakat, yang terdiri dari komponen- komponen sebagai berikut:
1.    Partai Politik ( Political Party)
2.    Kelompok Kepentingan ( Interest Group)
3.    Kelompok Penekan ( Pressure Group)
4.    Media Komunikasi Politik ( Political Communication Media)
5.    Tokoh Politik ( Political Figure)
Sosialisasi politik adalah suatu prosesyang dilalui seseorang dalam memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang ada dalam masyarkat tempat orang itu berada[4].sosialisasi politik juga mencakup proses pencapaian norma- norma dan nilai- nilai dari satu generasi ke generasi seterusnya, yang berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga masarakat atau melatih warga masyarakat menjalankan peran- peran politik tertentu. Fungsi sosialisai tersebut sangat penting sebab sosailaisasi politik meningkatkan pengetahuan politik masyarakat tentang kehidupan politik yang pada giliranya dapat mendorong pertumbuhan partisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya.



ELIT POLITIK
Putman sebelum meneliti distribusi kekuasaan, lebih dulu memberikan gambaran mengenai kekuasaan sering dipakai dalam ilmu- ilmu sosial, yaitu kekuasaan kekuasaan sebagai sesuatu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Dengan batasan itu, Putman memberikan batasan tentang kekuasaan itu sendiri[5].
Pertama, menetapkan ruang lingkup kekuasaan seperti kegiatan- kegiatan yang dilakukan dan luasnya.
Kedua, dikalangan kelompok yang memerintahpun hanya sedikit yang secara langsung menetapkan kebijaksanaan itu.
Ketiga, seringkali pembuat keputusan itupun harus memperhatikan aktor- aktor lain mengenai reaksi terhadap keputusan- keputusanya itu. Dengan demikian, dapat dimengerti apabila kekuasaan itu seringkali bersifat implisit., meskipun tidak menutup kemungkinan berubah menjadi eksplisit manakala dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan memperhatikan tindakan seperti penolakan atau harus menentukan pilihan.
            Untuk mengkaji keududukan elit di dalam masyarakat, elemen yang penting ialah konsep kekuasaan. Hal itu di dasari bahwa elit dan kekuasaan merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elit adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan adalah tempat muncul dan berkembangnya elit.
Dalam hal ini, kekuasaan politik yang dimaksud kan adalah, kemampuan untuk mempengaruhi kebijakasanaan umum baik terbentuknya maupun akibat- akibatnya sesuai dengan tujuan- tujuan kekuasaan sendiri. Dengan demikian kekuasaan politik berbeda dengan kekuasaan sosial. Kekuasaan politik hanyalah sebagian dari kekuasaan sosial yang titik sasaranya di tujukan pada negara sebagai satu- satunya pihak yang memiliki wewenang dan satu- satunya pihak yang memiliki hak untuk mengendalikan tingkah laku seseorang melalui cara- cara tertentu dan dengan paksaan sekalipun.
            Sudah menjadi kepastian di dalam sistem politik bahwa sebagian orang yang berada di dalam sistem itu memiliki kekuasaan yag lebih banyak dari sebagian yang lain. Apabila sistem politik tersebut dipandang sebagai hal yang berlapis- lapis, atau berstratifikasi, terdapat beberapa lapisan berdasarkan sumber- sumber kekuasaan yang dimiliki.
BAB VI
KELAS MENENGAH DAN POLITIK
Di Indonesia, pertumbuhan kelompok menengah sebagai sebuah starum berlanggsung dalam jangka waktu yang lama dan kompleks. Kepentingan, hasrat ekonomi, dan politik, secara tempramen ideologi mereka bangkit secara nyata pada masa penjajahan yaitu sejak masa diterapkannya Politik Etis yang sebagian hasil penajamannya konflik ekonomi antara wiraswastawan ekonomi Indonesia dan Cina.
Munculny kelas menengah telah telah menarik perhatian para ahli ilmu sosial karena kemunculan kelas menengah telah memunculklan implikasi terhadap tingkah laku politik. Berbicara kelas menengah ini, Lev[6]menaruh perhatian pada kaum profesional. Menurutnya, semakin sering mereka terabaikan, mungkin mereka tampak tak berada pada pusat kewiraswataan. Tetapi dalam beberapa hal mereka mempunyai arti penting, yaitu sebagai juru bicara paling artikulatif dari ide- ide, tujuan- tujuan, prinsio- prinsio dan kepentingan- kepentingan baru sebagai pihak pengimplementasian hal- hal tersebut dalam kewiraswastawan kapitalis.
Brym dalam bukunya “ Intelektual dan Politik”, menaruh perhatian pada beberapa aspek utama dari teori dan praktek- praktek kaum intelektual sejak kapasitas mereka dibebeskan tiga abad yang lalu. Dalam tulisan tersebut Brym[7] membahas lokasi kaum intelektual dalam masyarakat, hubungan antara pandangan mereka dan lokasi mereka, serta kecenderungan historis yang nampak pada kaum intelektual tersebut. Adapun pandangan tersebut diuraikan kedalam empat pandangan terhadap kaum intelektual seperti dibawah ini.
1.    Mereka dalam tingkatan berbeda- beda dipengarui oleh perspektif fungsionalis, edeteksi adnya kecenderungan historis bahwa kaum intelektual yang tadinya bebas menjadi semakin terserap kedalam superstruktur institusional yang meluas dan semakin cepat diatur oleh negara.
2.    Sebagai kaum Neo- Marxis mendukung pandangan yang bertolak belakang.
3.    Bertentangan dengan dua pernyataan diatas, telah juga dikemukakan oleh Manheim, bahwa kaum intelektual di kaum intelektual modern “ relatif tak berkelas”.
4.    Ketiga pernyataan diatas telah dikembangkan oleh ilmuwan ilmu sosial yang memusatkan perhatian- perhatianya pada masyarakat yang telah mencapai tahapan perkembangan ekonomi yang agak maju.
Dari keempat pandangan diatas, nampak bahwa jika di lihat posisi kaum intelektual di dalam masyarakat, terdapat pandangan bahwa kaum intelektual menepati, posisi sebagai kelas menengah, sebagai kelas proletar, sebagai kelompok masyarakat tanpa kelas atau menjadi kelompok elit penguasa.pandangan poitiknya menunjuk pada pandangan politik yang moderat, radikal, pragmatis, atau pandangan politik revolusioner kearah modernisasi. Semua itu tergantung kepada cara pandang yang berlainan.
BIROKRASI DALAM POLITIK
Istilah birokrasi selalu berkaitan dengan gejala prosedur yang berbelit- belit, mekanisme kerja yang tak jelas, berliku- liku serta sarana penyalahgunaan status dan wewenang. Hampir setiap orang yang pernah terlibat dan berurusan dengan birokrasi megeluhkan argumen ketidak efektifan dan ketidak efisienan.
Misalnya birokrasi sering dipandang tidak mampu maelakukan hal- hal yang sesuai dan tepat: tidak pernah ambil peduli tentang sesuatu: terjerat dalam jeratan pita merah: banyak sekali menghabiskan dana pajak yang dikutip dari rakyat secara sia- sia setiap tahun.
Birokrasi yang sering dipandang sebagai simultan menampilkan citra yang kontradiktif dari inefisiensi dan ancaman kekuasaan. Inkompetensi, korupsi, dan pemborosan di suatu pihak, manipulasi pengrusakan dan intrik- intrik di pihak lain merupakan contoh kebobrokan[8].
Dalam konteks politik, birokrasi diartikan sebagai wujud dari aparat pemerintahan negara dalam melaksanakan kebijakan- kebijakan tersebut melalui serangkaian tahapan atau biro- biro yang masing- masing diberi mandat atau dalam menentukan suatu tahap kebijakan yang di sesuaikan dengan kondisi dan situasi tentang tentang kasus yang dihadapi[9].
Berangkat dari tujuan awalnya, birokrasi diciptakan dalam hal untuk mempermudan dan mempercepat suatu pekerjaan dan dalam beberapa hala akan membantu suatu proses perkembangan yang lebih efisien, analisis mengenai konteks pembangunan politik diarahkan pada kerangka tersebut. Dengan kerangka itu, pertama- tama akan dikenal istilah birokrasi politis dan birokrasi administratif[10].
Birokrasi politis berasal dari organisasi- organisasi di luar pemerintahan dan memperjuangkan pandangan- pandangan dan tujuan- tujuan praktis politis suatu golongan atau beberapa golongan dalam masyarakat, seperti misalnya birokrasi partai- partai politik dan serikat buruh. Birokrasi ini berorientasi pada kepentingan masyarakat yang sekaligus merupakan ciri yang membedakanya dengan administrasi administratif[11].
Birokrasi melahirkan birokrat- birokrat adalah premis yang tidak dapat di tawar lagi. Tetapi persoalanya bukanlah mengapa birokrasi mesti melahihrkan birokrat akan tetapi bagaimanakah peranan birokrat- birokrat tersebut di dalam politik.
BERBAGAI DIMENSI PERILAKU POLITIK
Manusia merupakan mahluk yang berpolitik. Hal itu mengandung art bahwa manusia tidak sekedar bersifat instingtif, tetapi juga mengaktualisasi ditegah- tengah kemasyarakatanya dengan bentuk tingkah laku politik. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tingkah laku politik manusia itu diwujudkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik. Proses itu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terdapat beberapa faktor yang biasanya muncul sebagai faktor pembentukan identitas bersama. Faktor- faktor tersebut menurut Surbakti mencakup Primordial, Sakral, Tokoh, Sejarah, Bhineka Tunggal Ika, Perkembangan Ekonomi, dan kelembagaan[12].faktor- faktor yang membentuk identitas bersama itu kemudian dijelaskan sebagai berikut.
            Berbicara tentang perilaku politik, tentunya akan berhubungan dengan norma- norma yang bersangkut-paut dengan perilaku politik. Norma perilaku politik berarti mempersoalkan apa yang menjadi landasan wewenang politik atau apa yang menjadi dasar pembuatan dan pelaksanaan keoutusan politk itu diberlakukan secara sah. Hal itu sejalan dengan pengertian wewenang, yaitu kekuasaan yang dilembagakan[13]
Kekuasaan, menurut Max Webber adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri dan apapun dasar kemampuan itu. Kekuasaan dalam hal ini kekuasaan negara, mempersoalkan sah atau tidaknya negara. Kekuasaan berarti mempersoalkan masalah legitimasi[14]
Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan  politik. Hanya anggota masyarakat saja yang dapat memberikan legitimasi pada kewenangan pemimpin yang memerintah.
Persamaan antara Kekuasaan, Kewenangan, dan Legitimasi Ketiganya berkaitan erat dengan hubungan pemimpin atau pemerintah dengan yang dipimpin atau rakyat. Kemampuan untuk mempengaruhi Hak moral atau hak untuk memerintah Penerimaan dan  pengakuan masyarakat terhadap hak moral Kekuasaan memiliki hubungan atas-bawah menurut sarana paksaan fisik dan kekayaan, karena yang memiliki sarana kekuasaan lebih menentukan dari  pada yang dipengaruhi. Sedangkan hubungan bawah-atas, yang dipengaruhi lebih menentukan dari pada yang mempengaruhi, karena yang mempengaruhi harus mendapat persetujuan dari yang dipengaruhi. Kewenangan ditentukan oleh yang memimpin, sebab ia dapat menyuruh masyarakat untuk patuh dan menaati peraturan yang dibuatnya. Legitimasi ditentukan oleh yang dipimpin, karena penerimaan dan  pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal dari yang diperintah[15].
DINAMIKA KEHIDUPAN POLITIK
Perubahan politik secara umum merupakan hal yang bersifat alamiah. Semua objek di dunia ini merupakan hal yang bersifat alamiah. Semua objek di dunia ini tidak dapat mempertahankan keabadianya. Demikian halnya, kehidupan politik juga tidak dapat menghindarkan diri dari perubahan. Perubahan dalam politik (kehidupan politik ) tersebut dinamakan perubahan politik.
Perubahan politik menyangkuut persoalan- persoalan sistem nilai politik, struktur kekuasaan, serta strategi mengenai kebijakan umum yang berkenaan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan alam yang mempengaruhi dan dipengaruhi sistem politik[16].
Dalam pandangan Pye[17], ada sepuluh konsep pembangunan politik yang dapat dianut dalam menentukan strategi kebijakan umum suatu negara. Kesepuluh konsep tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pembangunan politik sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi, artinya bahwa pembangunan politik merupakan keadaan politik masyarakat yang membantu jalanya pembangunan ekonomi. Pembangunan politik diharapkan dapat memperlancar dan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
Kedua, pembangunan politik sebagai tipe politik masyarakat industri. Artinya, kehidupan ekonomi masyarakat industri melahirkan suatu tipe kehidupan politik yang dapat ditiru oleh masyarakat manapun.  
Ketiga, pembangunan politik sebagai modernisasi politik. Artinya, pembangunan politik diarahkan untuk menciptakan sistem politik modern yang dirasakan sebagai sesuatu yang harus diterima oleh pihak pemerintah di mana pun.
Keempat, pembangunan politik sebagai operasi negara bangsa. Artinya, bawa pembangunan politik merupakan proses terbentuknya negara bangsa yang di cirikan oleh pembentukan lembaga- lembaga politik tertentu dan pencetusnya secara tertib semua gejala nasionalisme kedalam tatanan kehidupan politik.
Kelima, pembangunan politik sebagai pembangunan administrasi dan hukum. Artinya, bahwa pembangunan politik diarahkan untuk membangun lembaga administrasi yang rasional dan menegakan hukum.
Keenam, pembangunan politik sebagai mobilisasi dan partisipasi masa. Artinya, bahwa rakyat diharapkan aktif dalam kehidupan politik. Ketujuh, pembangunan politik sebagai pembinaan bangsa. Artinya, sebagai pembinaan bangsa akan bermakna apabila didasarkan pada ideologi yang dianut oleh bangsa yang bersagkutan.
Kedelapan, pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan yang teratur. Artinya, kemajuan ekonomi dan sosial di didalam lingkungan yang mampu mengendalikan ketidakpastian dan menjamin terselenggaranya perencanaan yang berdasarkan predikat yang relatif aman, pembangunan politik bergantung pada kemampuan suatu masyarakat untuk mengendalikan perubahan sosial.
 Kesembilan, pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. Artinya, pembangunan politik akan memberikan peluang bagi penguasa untuk memanfaatkan secara maksimal dan mewujudkan dalam kenyataan semua sumber- sumber yang tersedia.
Kesepuluh, pembangunan politik sebagai satu aspek proses perubahan sosial yang multidimensional. Artinya, pembangunan politik merupakan salah satu aspek pembangunan yang dibangun bersama- sama dengan aspek- aspek lain. Dalam pandangan ini semua aspek pembangunan saling berkaitan satu sama lain.
Dari kesepuluh pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa pembangunan politik merupakan salah satu aspek dalam proses perubahan sosial yang multidimensional.  Pembangunan politik merupakan salah satu aspek yang dibangun bersama- sama dengan aspek- aspek lainya. Dalam pandangan ini, semua aspek pemangunan berhubungan satu dengan yang lainya.




[1] P. Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta . hlm- 6
[2] Budiarjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm- 1
[3] Mac Iver, The Modern State, London, Oxford University Press, 1960, hal- 221
[4] Budiardjo, Miriam. 1995. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm- 169
[5] Lihat: Mochtar Mas’oed, op, cit. Hal 34.
[6] Tanter dan Young , op. Cit, hal. 48.
[7] Brym Robert. 1993. Intelektual dan Politik. Jakarta: Graffiti, hlm- 3
[8] Beetham, David. Birokrasi, terj. Sahat Simamora. Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hal. V.
[9] Pengertian tentang birokrasi pada awalnya sebenarnya tidak berkaitan dengan politi, namun                         perkembangan selanjutnya karena menyangkut aparat pengambilan keputusan sehingga    pengertian ini berkembang menjadi pengertian yang bersifat politik.
[10] Ensiklopedia, hal- 146
[11] Periksa: Encyclopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, loc. cit
[12] Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia Widiaswara Indonesia.             Hlm, 44- 47
[13] Budiardjo Miriam. 1991. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan.     Hlm- 14
[14] Max Weber dalam Miriam Budiardjo. 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa.              Jakarta: Sinar Harapan. Hlm - 6
[15] Amrina Ully. Pengantar Ilmu Politik - Kekuasaan, Kewenangan, Legitimasi.                https://www.academia.edu/9078209/Pengantar_Ilmu_Politik_Kekuasaan_Kewenanga      gan_Legitimasi. Diakses pada hari Kamis. 21 Januari 2016. Pada pukul 14:46 wib
[16] Surbakti, Ramelan. 1992. Memahami Ilmu Politik.  Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.        Hlm- 240- 243
[17] Pye, Lucian W. Dalam Gaffar, Afian. 1989. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Jakarta:              Rajawali. Hlm- 31-54

Comments