Ringkasan Buku Perilaku Politik (Drs. Sudijono Sastroatmodjo 1995 Semarang: IKIP Semarang Press) BAB I, BAB II

BAB I
HAKIKAT DAN PENGERTIAN PERILAKU POLITIK

A.    Pengertian Perilaku Politik
Secara umum bermacam- macam kegiatan di dalam suatu sistem politik yang  menyangkut proses penentuan tujuan serta pelaksanaan tujuan dari sistem tersebut[1]. Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan- kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik[2]. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah, kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Dalam suatu negara, misalnya, ada pihak yang memerintah, dan pihak lain yang diperintah. Sejalan dengan pengertian perilaku politik, perilaku politik berkenaan dengan perilaku masyarakat, keijakan untuk mencapai suatu tujuan, seerta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu ototritas untuk mengatur kehidupan masyarakat ke arah tujuan tersebut.
sumber gambar: maneicon.blogspot.com 
Perilaku politik merupakan suatu tindakan yang dilaksanakan oleh suatu subjek. Subjek berupa pemerintah dan dapat juga masyarakat. Kajian perilakau politik dapat dikaji melalui tiga unit dasar analisis. Pertama, individu sebagai aktor politik. Kedua, agresi politik. Ketiga, tipologi kepribadian politik. Yang dimaksud dengan agresi politik adalah kelompok individu yang tergabung dalam suatu organisasi seperti parta politik, kelompok kepentingan, birokrasi dan lembaga- lembaga pemerintahan. Tipologi kepribadian politik adalah tipe- tipe kepribadian pemimpin seperti pemimpin otoriter, pemimpin demokratis, dan leissfeir.oleh karena itu, tipe tipe pemimpin politik dan pemerintahan akan sangat mempengaruhi suasana kehidupan politik.
B.     Ruang Lingkup
Disamping perilaku politik individu sebagai aktor politik, ada juga perilaku politik kelembagaan. Walaupun di dalamnya terdiri dari individu- individu, lembaga politik memiliki misi tersendiri sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sejalan dengan pemahaman itu, lembaga- lembaga politik dapat dibedakan atas lembaga politik pemerintahan ( Infrastruktur Politik). Oleh karena itu, pembahasan dalam buku ini juga akan mencakupi perilaku suprastruktur dan insfrastruktur politik.
Adapun lembaga- lembaga politik pemerintahan (suprastruktur politik) terdiri dari lembaga – lembaga yang menjalankan tugas legislatif eksekutif, dan yudikatif. Lembaga politik kemasyarakatan (infrastruktur politik) merupakan lembaga yang bersangkut paut pada pengelompokan warga negara atau anggota masyarakat kedalam berrbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosialpolitik dalam sistem masyarakat.
C.     Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik
Perilaku politik merupakan produk sosial sehingga untuk memahaminya diperlukan konsep dari beberapa disiplin ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi sosial, anropologi sosial, geopolitik, ekonomi, dan sejarah, yang digunakan secara integral. Dalam mengaji perilaku politik seringkali dilakukan seringkaloi di lakukan dari sudut pandang psikologisdi samping pendekatan struktural fungsional dan struktural konflik. Sudut pandang psikologis ini menjelaskan pertimbangan- pertimbangan latar belakang secara menyeluruh., baik aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertimbangan kepentingan lain. Perilaku politik, aktor politik seperti perencanaan pengambilan keputusan, dan penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai dimensi latar belakang yang merupakan bahan dalam pertimbangan politiknya. Demikian juga warganegara biasa dalam berperilaku politik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan latar belakang.
Faktor yang mempengaruhi perilaku politik meliputi empat faktor. Pertama lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media masa. Kedua, faktor lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor- aktor politik seperti, keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Keempat, faktor sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yayng mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melangsungkan suatu kegiatan seperti, cuaca, keadaan keluarga, kehadiran seseorang, keadaan ruang, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya[3].
Dipihak lain terdapat dua variabel yang mempengaruhi partisipasi politik warga negara biasa. Dua variabel itu adalah kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah ( sistem politik). Status sosial berarti kedudukan seseorang dalam kelompoknya yang disebabkan baik oleh tingkat pendidikan dan pekerjaan. Status sosial ekonomi ialah kedudukan seseorang warga negara dalam pelapisan sosial yang disebabkan oleh pemilikan kekayaan. Perilaku politik warga negara dalam bentuk partisipasi politik oleh Milbarth dijelaskan kaitanya dengan empat faktor utama[4]. Pertama, sejauh mana orang menerima perangsang politik. Kedua, karakter pribadi seseorang. Ketiga, karakteristik sosial seseorang. Keempat, ialah keadaan politik atau lingkungan politik tempat seseorang dapat menemukan dirinya sendiri. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat, pertama- tama dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perlaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses- proses dan perisstiwa historis pada masa lalu dan sekaligus merupakan kesinambungan yang dinamis. Diberlakukanya demokrasi leberal yang terbingkai dalam sistem demo-krasi parlementer sejak 3 November 1945 telah memunculkan sistem ulti partai. Dalam konsisi sistem politik yang belum mapan, lemabaga- lembaga politik yang belum mantap sementara tuntutan politik yang sangat tingi telah berakibat munculnya instabilitas politik.
D.    Konsep Dasar
Perilaku politik dapat berupa perlaku lembaga- lembaga politik dan dapat berupa perilaku politik individu. Perilaku politik yang pertaa dijalankan oleh lembaga- lembaga politik sesuai dengan perananya ( wewenang dan tugas), sedangkan yang disebut terakhir adalah perilaku politik yang dijalankan oleh tiap-tiap individu sebagai peran sertanya di dalam kehidupan politik.
 Pertanyaan yang kemudian muncul dalam hubunganya dengan hal itu adalah sapakah yang sesungguhnya lebih berperan dalam kehidupan politik, individu sebagai aktor politik ataukah lembaga politik. Pertanyaan tersebut perlu kiranya diketegahkan karena ada dua aliran / paham yang sangat berpengaruh dalam ilmu politik, yaitu paham kelembagaan dan paham behavioral. Paham Kelembagaan. Paham ini menempatkan peran lembaga- lembaga politik pada tempat yang lebih penting dari pada individu- individu aktor politik. Menurut paham ini, lembaga- lembaga politik melakukan kegiatan sesuai dengan fungsinyamasing- masing, sedangkan individu, yang ada dalam lembaga it hanya menjadi pelaksana semata- mata sedangkan paham behavioral kebalikanya.
BAB II
BUDAYA POLITIK
Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat, yang memiliki pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Budaya politik meburut Almond dan Verba adalah sebagai distribusi pola- pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu[5]. Tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. Dengan memahami budaya politik, setidaknya akan diperoleh dua manfaat.
Pertama, sikap warganegara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan- tuntutan , respon- responya, dukunganya, dan orientasinya terhadap sistem politik itu. Kedua, dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksud- maksud individu dalam melakukan kegiatanya dalam sistem politik atau faktor- faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti. Distribusi pola- pola orientasi khusus yang dimaksud oleh Almond dan Verba tersebut dapat dipakai apabila telah dipahami berbagai cara yang sistematis tentang orientasi individual terhadap objek politik dapat dimengerti.
Almond dan Verba juga mengatakan ada tiga komponen di dalam objek politik. Pertama adalah komponen kognitif, yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan kepada politik, peranan, dan kewajibanya. Komponen kedua adalah orientasi afektif, yaitu perasaan terhadap sistem politik, perananya, para aktor, dan penampilanya. Komponen ketiga ialah orientasi evaluatif, yakni keputusan dan praduga tentang obyek- obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan[6].
Sikap kehati- hatian dalam membedakan peranan politik itu dapat diartikan sebagai salah satu interaksi budaya politik. Untuk melhat peranan individu, Almond dan Verba membedakan golongan subjek. Subjek pertama, peranan atau struktur khusus seperi legislatif, eksekutif, atau birokrasi. Kedua, penunjang jabatan, seperti pemimpin monarkhi, legislator, dan administrator. Ketiga, kebijaksanaan keputusan atau penguatan keputusan[7]. Secara garis besar, buday apolitik dapat di bedakan menjadi tiga, yaitu buday apolitik parokial, budaya politik subjek, dan budaya politik partisipan.
A.    Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil., sehingga pelaku- pelaku politik belumlah memiliki pengkhususan tugas. Disesbabkan siste politik yang masih sederhana dan terbatasnya areal wilayah diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri- sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang luas, tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.
Oleh Collemen[8] dicontohkan masyarakat suku- suku di Afrika, yang tidak terdapat pembagian pesan secara khusus antara pesan politik, sosial, ataupun religious. Orientasi parokial menyatakan bahwa ketiadaanya harapan- harapan terhadap perubahan yang diperbandingkan dengan sistem politik lainya.



B.     Budaya Politik Subjek
Budaya politik ini memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuwensi orientasinya terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah. Hal ini berarti bahwa masyarakat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah. Orientasi pemerintahan yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling, baik mendukug atau bermusuhan terhadap sistem. Namun demiian, posisinya sebagai subjek ( kaula) mereka pandanga sebagai posisi yang pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa- apa terhadap perubahan  politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adaklah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem.
Orientasi budaya subjek ynag murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak terdapat struktur masukan yang diferensisasi. Demikian pula, dalam budaya subjek orientasi dalam sistem politik dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yangdemikian. Masyarakat yang memiliki budaya  seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpanya saja dalam hati.
C.     Budaya Politik Partisipan
Masyarakat dengan budaya politik spserti ini memiliki orientasi politik yang eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap inpu maupun  output dari sistem politik tersebut. Masyarakat dengan budaya politik ini, dianggap aktif dalam dalam kehidupan politik, memiliki kesdaran terhadap hak dan kewajibanya. Masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak- hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partisipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu menyatakan bahwa, mereka sadar betapa kecilnya mereka di dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti terhadapa berlangsungya, sistem itu



III
PARTISIPASI POLITIK
A.    Hakikat Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara umum, dalam masyarakat tradisional, yang sipat kepemimpinan politiknya telah ditentukan oleh segolongan elit penguasa., keterlibatan warga negara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil.warga negara yang hanya terdiri dalam masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses politik.
            Partisipasi politik, merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Huntington dan Nelson, dalam bukunya yang berjudul Partisipasi Ppolitik di Negara Berkembang, berusaha mencarai batasan partisipasi politik. Mereka mengawalinya dengan pertanyaan, apakah partisipasi politik itu hanya berupa perilaku atau menyangkut sikap dan presepsi- presepsi yang merupakan syarat mutlak perilaku partisipasi. Akhinya, mereka mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara preman ( private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah[9]. Dipihak lain, Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik merupakan kegiatan seorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih peimpnan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah ( Public Policy)[10]. .... sambungan nyusul :) 
Nb: Boleh dicopas tapi baca dulu, dan cantumkan sumber- sumber, budayakan membaca sebelum copas.




[1] Budiardjo Miriam.  1985. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm - 8
[2] Subakti Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. Hlm- 131
[3] Ibid
[4] Milbarth, Political Participation dalam Rush, Michel dan Althoff, Philip, Pengantar Sosiologi             Politik, Jakarta, Penerbit Rajawali, 1989, hal. 167.
[5] Almond, Gabriel. dan Verba, Sidney. Terj. Sahat Simamora, Budaya Politik, Tingkah Laku dan           Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, 1990, hal. 16. 4. Pendekatan seperti ini pernah       dikemukakan oleh A. Rossenbaum, Walter. Dalam Political Culture, Praeger, New York,                1975, hal.
[6] Almond, Gabriel. Loc.cit.
[7] Almond, loc.cit.
[8] Hal seperti itu dikemukakan dalam Almond, Gabriel. Politic of the Developing Esseas, yang kemudan dijadikan kutipan dalam ibid. Hal. 20
[9] P. Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta . hlm- 6
[10] Budiarjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm- 1

Comments

Popular Posts